Thursday, February 23, 2023

Mitos dan Fakta Obat Kesehatan Jiwa

Peningkatan Prevalensi Gangguan Jiwa dan Gangguan Mental Emosional (Sumber: Riskesdas, 2018)

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi rumah tangga dengan ART gangguan jiwa skizofrenia/ psikosis, dan prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur ≥ 15 tahun menunjukkan peningkatan dari tahun 2013 ke tahun 2018. Hal ini patut diberi perhatian, baik memastikan semua penderita mendapatkan penanganan yang tepat, dan mencegah peningkatan jumlah penderita.

Cakupan pengobatan penderita gangguan jiwa skizofrenia/ psikosis dan depresi (Sumber: Riskesdas, 2018)

Namun, hasil Riskesdas tahun 2018 juga menunjukkan adanya kesenjangan pengobatan yaitu proporsi orang yang memerlukan pengobatan tertentu tetapi tidak mendapatkannya. Salah satu penyebab kesenjangan ini adalah karena adanya mitos di masyarakat seputar pengobatan psikiatris. Berikut, dalam artikel ini adalah sepotong kisah aku sebagai seorang Apoteker, dalam memberikan pelayanan informasi obat untuk kesehatan jiwa. Mari kita bahas 2 mitos pengobatan psikiatris dalam artikel ini.

Baca tentang Mitos dan Fakta Obat Psikiatris di sini (Dokumentasi Pribadi)

Kalo udah mulai pakai obatnya, nanti akan ketergantungan ya?

Pertama, apresiasi patut diberikan kepada pasien dan/ atau keluarga pasien yang sudah mau berkonsultasi pada profesional (psikolog maupun psikiater). Tentu pasien yang sempat bertemu denganku adalah yang pasien berkonsultasi pada psikiater dan mendapatkan resep obat. Tidak jarang saat pelayanan kefarmasian, pasien atau keluarga pasien bertanya, “kalo mulai pakai obat ini, harus pakai seumur hidup ya?” (atau bentuk kalimat lainnya, yang bermakna sama) Demikian, mulailah penjelasan panjang lebar seorang apoteker kepada pasien dan/ atau keluarga pasien.

Saya akan mengawali edukasi obat ini dengan memberitahu bahwa, obat kesehatan jiwa belum tentu bisa memunculkan efek secepat obat penyakit lain (seperti batuk pilek yang hanya dua-tiga kali mengonsumsi obat sudah bisa merasa kondisi lebih baik, melainkan obat kesehatan jiwa membutuhkan waktu hingga 6 minggu dari dosis pertama untuk mulai mengurangi gejala, dan perlu waktu berbulan-bulan hingga efek yang sesungguhnya.

Kedua, tergantung keluhan yang dialami masing-masing pasien, lama pengobatan dapat berkisar 1-5 tahun. Kalo dokter bilang sudah boleh gak pakai obat, maka ikuti petunjuk selanjutnya dari dokter.

Ketiga, walaupun sudah tidak mengonsumsi obat psikiatris, harus tetap memelihara kesehatan jiwa sendiri dengan berpola hidup sehat (singkat kata: jaga pikiran) agar tidak kambuh lagi.

Infografik Obat Psikofarmaka (Dokumentasi Pribadi)


Kalo udah enakan, gak usah pakai obat lagi.

Pada suatu hari, seorang pasien diantar keluarga ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Puskesmas dalam kondisi demam tinggi dan tidak sadar diri. Setelah menelusuri riwayat penyakit, ternyata selama 2 tahun pasien ini rutin mengonsumsi obat dari dokter Spesialis Kesehatan Jiwa (psikiater) di Rumah Sakit Kota. Namun, beberapa bulan yang lalu, pasien berpindah kembali ke desa yang berjarak 4 jam dari kota, dan setelah bekal obat dari kota habis, pasien sudah tidak melanjutkan obat lagi, dengan alasan merasa sudah enakan, dan tidak nyaman dengan efek samping mengonsumsi obat kesehatan jiwa tersebut.

Seperti yang dipaparkan sebelumnya, bahwa obat kesehatan jiwa belum tentu perlu dikonsumsi seumur hidup. Namun, tidak berarti bila pasien merasa sudah enakan, maka dapat serta-merta tidak mengonsumsi obat kesehatan jiwa nya lagi. Selain itu, bila ada efek samping obat psikiatris yang dialami, maka pasien atau keluarga pasien sebaiknya mengkomunikasikan kepada dokter dan/ atau apoteker untuk penanganannya.

Nah, apa saja bahaya menghentikan obat psikiatris tanpa konsultasi dengan dokter terlebih dahulu?

Pertama, ya, pasti pembaca sekalian berhasil menebak, yaitu: risiko kekambuhan. Penelitian menunjukkan 42.6% penyakit kejiwaan dapat tidak menimbulkan kekambuhan. Dalam penelitian juga menyebutkan bahwa faktor-faktor yang berkaitan dengan kekambuhan antara lain singkatnya durasi pengobatan, ketidakpatuhan pengobatan, dan mengalami tekanan dalam hidup.

Kedua, risiko munculnya gejala putus obat. Setelah jangka waktu yang cukup panjang dalam penggunaan obat rutin, otak dan tubuh telah beradaptasi dengan adanya zat tersebut, dan efek yang ditimbulkan oleh zat tersebut. Jadi, bila dihentikan tiba-tiba, maka tubuh akan merespon layaknya meminta obat tersebut lagi. Gejala yang muncul dapat bervariasi tergantung respon tubuh, dan jenis obat, antara lain keringat dingin, gemetaran, tidak sadar diri, hingga mati mendadak.

Jadi, apa yang perlu dilakukan bila merasa sudah enakan, dan tidak ingin menggunakan obat psikiatris lagi?

Yang harus pasien dan/atau keluarga pasien lakukan adalah konsultasikan lagi pada psikiater yang menangani. Bila psikiater memperbolehkan penghentian obat, maka akan dilakukan per tahap, bisa dengan pengurangan dosis atau frekwensi konsumsi obat. Pengurangan dosis dan/ atau frekwensi ini akan berlangsung bertahap selama 6 bulan sampai 1 tahun hingga obat dihentikan secara total.

Terapi Obat Psikofarmaka (Dokumentasi Pribadi)

Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan, terapi diberikan sampai lima tahun bahkan seumur hidup.


Bagaimanapun, obat kesehatan jiwa dapat diperoleh di Apotek, Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit dengan resep dokter. Pertanyaan-pertanyaan terkait obat, dapat ditanyakan pada Apoteker yang melayani. Demikian, pasien dihimbau mengonsumsi obat sesuai aturan pemakaian yang diresepkan dokter. Di samping mengimbangi dengan pola hidup sehat, kelola stres, dukungan dari kerabat, dan komunitas pendukung juga sangat membantu dalam menyukseskan pengobatan.

Selain itu, kini dengan canggihnya teknologi informasi, masyarakat dapat mengakses dengan mudah berbagai informasi tentang kesehatan mental, dan tips yang mendukung kesehatan mental. Salah satunya melalui situs Dear Senja di https://www.dearsenja.com/ dan halaman situs blog Dear Senja di https://www.blog.dearsenja.com/ . Berbagai gangguan kesehatan jiwa dikaji dalam blog dengan bahasa yang mudah dimengerti. Salah satu yang bisa dibaca sebagai tips kelola stress adalah “Ini 7 Cara Berdamai dengan Diri Sendiri Agar Lebih Bahagia”.

Ada pula media sosial instagram @Dearsenja_com atau Tiktok @dearsenja.com yang menyediakan berbagai informasi bermanfaat untuk memberikan dukungan dalam kesehatan mental, tetapi tidak bersifat menggantikan referensi konsultasi dari ahli. Bila gejala semakin memburuk, sebaiknya berkonsultasi pada Psikolog, atau Psikiater. Kemudian, soal Obat, tanya Apoteker.

Intinya, jaga kesehatan mental anda, karena itu juga merupakan bagian dari sehat dan kualitas hidup!

 #DearSenjaBlogCompetition

Sumber Pustaka:

Undang-Undang Republik Indonesia No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa


Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK. 02.02/ Menkes/ 73/ 2015 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa

 

Moges, S., Belete, T., Mekonen, T. et al. Lifetime relapse and its associated factors among people with schizophrenia spectrum disorders who are on follow up at Comprehensive Specialized Hospitals in Amhara region, Ethiopia: a cross-sectional study. Int J Ment Health Syst 15, 42 (2021). https://doi.org/10.1186/s13033-021-00464-0

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018