![]() |
Peningkatan Prevalensi Gangguan Jiwa dan Gangguan Mental Emosional (Sumber: Riskesdas, 2018) |
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi rumah tangga dengan ART gangguan jiwa skizofrenia/ psikosis, dan prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur ≥ 15 tahun menunjukkan peningkatan dari tahun 2013 ke tahun 2018. Hal ini patut diberi perhatian, baik memastikan semua penderita mendapatkan penanganan yang tepat, dan mencegah peningkatan jumlah penderita.
Cakupan
pengobatan penderita gangguan jiwa skizofrenia/ psikosis dan depresi (Sumber:
Riskesdas, 2018) |
Namun, hasil Riskesdas tahun 2018 juga menunjukkan adanya
kesenjangan pengobatan yaitu proporsi orang yang memerlukan pengobatan tertentu
tetapi tidak mendapatkannya. Salah satu penyebab kesenjangan ini adalah karena
adanya mitos di masyarakat seputar pengobatan psikiatris. Berikut, dalam
artikel ini adalah sepotong kisah aku sebagai seorang Apoteker, dalam memberikan
pelayanan informasi obat untuk kesehatan jiwa. Mari kita bahas 2 mitos pengobatan
psikiatris dalam artikel ini.
![]() |
Baca tentang Mitos dan Fakta Obat Psikiatris di sini (Dokumentasi Pribadi) |
Pertama, apresiasi patut diberikan kepada pasien dan/ atau
keluarga pasien yang sudah mau berkonsultasi pada profesional (psikolog maupun
psikiater). Tentu pasien yang sempat bertemu denganku adalah yang pasien
berkonsultasi pada psikiater dan mendapatkan resep obat. Tidak jarang saat pelayanan
kefarmasian, pasien atau keluarga pasien bertanya, “kalo mulai pakai obat ini,
harus pakai seumur hidup ya?” (atau bentuk kalimat lainnya, yang bermakna sama)
Demikian, mulailah penjelasan panjang lebar seorang apoteker kepada pasien dan/
atau keluarga pasien.
Saya akan mengawali edukasi obat ini dengan memberitahu
bahwa, obat kesehatan jiwa belum tentu bisa memunculkan efek secepat obat
penyakit lain (seperti batuk pilek yang hanya dua-tiga kali mengonsumsi obat
sudah bisa merasa kondisi lebih baik, melainkan obat kesehatan jiwa membutuhkan
waktu hingga 6 minggu dari dosis pertama untuk mulai mengurangi gejala, dan
perlu waktu berbulan-bulan hingga efek yang sesungguhnya.
Kedua,
tergantung keluhan yang dialami masing-masing pasien, lama pengobatan dapat
berkisar 1-5 tahun. Kalo dokter bilang sudah boleh gak pakai obat, maka ikuti
petunjuk selanjutnya dari dokter.
Ketiga,
walaupun sudah tidak mengonsumsi obat psikiatris, harus tetap memelihara
kesehatan jiwa sendiri dengan berpola hidup sehat (singkat kata: jaga pikiran)
agar tidak kambuh lagi.
Infografik Obat Psikofarmaka (Dokumentasi Pribadi) |
Kalo udah enakan, gak usah pakai obat lagi.
Pada
suatu hari, seorang pasien diantar keluarga ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Puskesmas
dalam kondisi demam tinggi dan tidak sadar diri. Setelah menelusuri riwayat
penyakit, ternyata selama 2 tahun pasien ini rutin mengonsumsi obat dari dokter
Spesialis Kesehatan Jiwa (psikiater) di Rumah Sakit Kota. Namun, beberapa bulan
yang lalu, pasien berpindah kembali ke desa yang berjarak 4 jam dari kota, dan
setelah bekal obat dari kota habis, pasien sudah tidak melanjutkan obat lagi,
dengan alasan merasa sudah enakan, dan tidak nyaman dengan efek samping
mengonsumsi obat kesehatan jiwa tersebut.
Seperti
yang dipaparkan sebelumnya, bahwa obat kesehatan jiwa belum tentu perlu
dikonsumsi seumur hidup. Namun, tidak berarti bila pasien merasa sudah enakan,
maka dapat serta-merta tidak mengonsumsi obat kesehatan jiwa nya lagi. Selain
itu, bila ada efek samping obat psikiatris yang dialami, maka pasien atau
keluarga pasien sebaiknya mengkomunikasikan kepada dokter dan/ atau apoteker
untuk penanganannya.
Nah,
apa saja bahaya menghentikan obat psikiatris tanpa konsultasi dengan dokter
terlebih dahulu?
Pertama,
ya, pasti pembaca sekalian berhasil menebak, yaitu: risiko kekambuhan.
Penelitian menunjukkan 42.6% penyakit kejiwaan dapat tidak menimbulkan
kekambuhan. Dalam penelitian juga menyebutkan bahwa faktor-faktor yang
berkaitan dengan kekambuhan antara lain singkatnya durasi pengobatan,
ketidakpatuhan pengobatan, dan mengalami tekanan dalam hidup.
Kedua,
risiko munculnya gejala putus obat. Setelah jangka waktu yang cukup panjang
dalam penggunaan obat rutin, otak dan tubuh telah beradaptasi dengan adanya zat
tersebut, dan efek yang ditimbulkan oleh zat tersebut. Jadi, bila dihentikan
tiba-tiba, maka tubuh akan merespon layaknya meminta obat tersebut lagi. Gejala
yang muncul dapat bervariasi tergantung respon tubuh, dan jenis obat, antara
lain keringat dingin, gemetaran, tidak sadar diri, hingga mati mendadak.
Jadi,
apa yang perlu dilakukan bila merasa sudah enakan, dan tidak ingin menggunakan
obat psikiatris lagi?
Yang
harus pasien dan/atau keluarga pasien lakukan adalah konsultasikan lagi pada psikiater
yang menangani. Bila psikiater memperbolehkan penghentian obat, maka akan
dilakukan per tahap, bisa dengan pengurangan dosis atau frekwensi konsumsi
obat. Pengurangan dosis dan/ atau frekwensi ini akan berlangsung bertahap
selama 6 bulan sampai 1 tahun hingga obat dihentikan secara total.
Terapi Obat Psikofarmaka (Dokumentasi Pribadi) |
Dosis mulai diturunkan secara
bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih mampu mencegah kekambuhan.
Bila kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila sudah
berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan, terapi diberikan sampai lima
tahun bahkan seumur hidup.
Bagaimanapun,
obat kesehatan jiwa dapat diperoleh di Apotek, Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit
dengan resep dokter. Pertanyaan-pertanyaan terkait obat, dapat ditanyakan pada
Apoteker yang melayani. Demikian, pasien dihimbau mengonsumsi obat sesuai
aturan pemakaian yang diresepkan dokter. Di samping mengimbangi dengan pola
hidup sehat, kelola stres, dukungan dari kerabat, dan komunitas pendukung juga
sangat membantu dalam menyukseskan pengobatan.
Selain itu, kini
dengan canggihnya teknologi informasi, masyarakat dapat mengakses dengan mudah
berbagai informasi tentang kesehatan mental, dan tips yang mendukung kesehatan
mental. Salah satunya melalui situs Dear Senja di https://www.dearsenja.com/ dan halaman
situs blog Dear Senja di https://www.blog.dearsenja.com/
. Berbagai gangguan kesehatan jiwa dikaji dalam blog dengan bahasa yang mudah
dimengerti. Salah satu yang bisa dibaca sebagai tips kelola stress adalah “Ini
7 Cara Berdamai dengan Diri Sendiri Agar Lebih Bahagia”.
Ada pula media sosial
instagram @Dearsenja_com atau Tiktok @dearsenja.com yang menyediakan berbagai
informasi bermanfaat untuk memberikan dukungan dalam kesehatan mental, tetapi tidak bersifat menggantikan referensi konsultasi dari ahli. Bila
gejala semakin memburuk, sebaiknya berkonsultasi pada Psikolog, atau Psikiater.
Kemudian, soal Obat, tanya Apoteker.
Intinya, jaga
kesehatan mental anda, karena itu juga merupakan bagian dari sehat dan kualitas
hidup!
Sumber Pustaka:
Undang-Undang Republik Indonesia No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK. 02.02/ Menkes/ 73/ 2015 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Jiwa
Moges, S., Belete, T., Mekonen, T. et al. Lifetime relapse and its associated factors among people with schizophrenia spectrum disorders who are on follow up at Comprehensive Specialized Hospitals in Amhara region, Ethiopia: a cross-sectional study. Int J Ment Health Syst 15, 42 (2021). https://doi.org/10.1186/s13033-021-00464-0
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018