Wednesday, September 21, 2016

Luruskan Pelurus Bangsa


Generasi muda tidak hanya penerus bangsa, tetapi juga pelurus bangsa. Apakah anda salah satu pelurus bangsa? Apakah anda ingin turut berperan dalam meluruskan bangsa? Apa saja liku bangsa yang perlu kita luruskan?
Salah satunya adalah Korupsi. Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016). Kata orang, “korupsi” sudah berakar, dan menjalar ke seluruh penjuru Indonesia. Akar itu bagian tumbuhan yang biasanya tertanam di dalam tanah sebagai penguat dan pengisap air serta zat makanan. Menjalar itu berarti meluas, dan merata (Pusat Bahasa Kemdikbud, 2016). “Korupsi” sudah membudaya di Indonesia. Membudaya itu berarti menjadi kebiasaan yang dianggap wajar (Pusat Bahasa Kemdikbud, 2016.
Ngeri gak sih? Sebegitu melekatnya korupsi dengan kehidupan rakyat Indonesia kah? Apakah pohon korupsi ini masih mau dipupuk terus? Apakah budaya korupsi ini masih mau dilestarikan terus?
Berdasarkan hasil penelitian Transparency International (TI) selama enam tahun berturut-turut dari 1995-2000, Indonesia selalu menduduki posisi sepuluh besar sebagai negara paling korup di dunia. Selanjutnya, Corruption Perceptions Index (2015) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki skor 36 dari total 100, dan menduduki rangking ke 88 dari 168 negara, di mana rangking no 1 adalah negara paling tidak korup (Transparency International, 2016).
Sebuah survei Global Corruption Barometer menghasilkan bahwa 18% warga Indonesia melakukan penyogokan pada tahun 2010. Selain itu, terhadap usaha pemerintah memerangi korupsi, ada 35% yang menyatakan tidak efektif, 32% menyatakan biasa-biasa saja, dan 33% menyatakan efektif (Transparency International, 2011). Selanjutnya, pada sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2013, 54% warga menyebutkan bahwa level korupsi di Indonesia meningkat banyak dalam kurun waktu 2 tahun terakhir (Transparency International, 2013).
Berdasarkan 12 bidang yang disurvei, responden Indonesia merasa Polisi adalah yang paling korup, yaitu sebesar 91% dan Media menduduki posisi ke-12 yaitu sebesar 19%. Ada satu hal yang memilukan dari hasil survei ini, yaitu sistem pendidikan di Indonesia dinilai korup oleh 49% responden (Transparency International, 2013). Ternyata, sistem yang sangat berperan penting dalam membina generasi muda bangsa sudah korup.

Dalam survei ini, ada juga sebuah pertanyaan sederhana dan penting yang ditanyakan, yaitu, “Seberapa setujukah anda bahwa orang biasa dapat membuat suatu perubahan dalam memerangi korupsi?” Ini sangat penting untuk menilai seberapa besar kesadaran warga Indonesia akan perannya masing-masing dalam memerangi korupsi? Begini hasil surveinya, ada 2% sangat tidak setuju, 17% tidak setuju, 70% setuju, dan 11% sangat setuju (Transparency International, 2013).
Layaknya bunyi salah satu tweet dari akun Twitter Transparency International Indonesia (@TIIndonesia): Jangan menjadi pemadam kebakaran, kita harus menciptakan sistem atau sumber daya yang dapat mencegah kebakaran. Hal sama juga pada pemberantasan korupsi.” Jadi, sangat penting untuk mengajarkan anti-korupsi sejak dini. Gerakan anti-korupsi ini pada dasarnya adalah upaya mencegah dan memberantas tindakan korupsi.
Akan tetapi, tindakan korupsi juga sudah mulai dilakukan sejak dini. Sebuah contoh sederhana adalah saat anak diminta bantu orang tua untuk berbelanja, kemudian ada uang kembalian dari belanja tersebut, anak memberikan uang kembalian kepada orang tua, lalu orang tua berkata, “Itu untuk kamu saja.” Ini memberikan kesan kepada anak bahwa uang kembalian tersebut adalah haknya. Saat anak memperoleh uang kembalian pada belanja kali berikutnya, anak akan beranggapan bahwa uang tersebut akan menjadi miliknya lagi. Bahkan, anak tidak lagi akan berinisiatif untuk menyerahkan uang kembalian tersebut karena beranggapan bahwa uang tersebut layak adalah miliknya. Dengan demikian, korupsi sudah dilakukan sejak dini. Walaupun sebenarnya, niat dari orang tua adalah memberikan penghargaan karena telah membantu melakukan sesuatu, tetapi secara tidak langsung mendidik anak untuk berkorupsi. Kekurangtepatan perlakuan orang tua ini sering kurang disadari.
Hal serupa juga sering aku alami saat kecil. Seringkali saat membantu orang tua membeli sesuatu dan ada uang kembalian, orang tuaku sering bilang, “simpan saja, itu untuk kamu.” Namun, hati nuraniku selalu mendorong aku untuk mengembalikan uang kembalian itu walaupun seringkali ucapan dari orang tua akan serupa dan uang itu akan masuk dalam celenganku. Tetapi, setidaknya, aku membuktikan bahwa “Aku Anak Jujur.” Aku yakin tindakan ini membuat aku makin disayangi. Saat anak-anak maupun orang tua lain melihat sikapku ini, mereka kemudian akan berpikir bahwa sebaiknya mereka juga bertindak demikian.
Coba, gimana perasaan kamu bila suatu ketika kamu tidak berinisiatif membalikkan uang kembalian itu, dan ditanya oleh orang tuamu. Ehm, itu bukan suatu rasa malu sih, melainkan menjadi suatu kejanggalan di kedua belah pihak. Anak mungkin merasa kecewa, “Ah, kenapa kali ini diminta sih, padahal biasanya itu untuk aku.” Menanggapi kekecewaan anak, orang tua mungkin akan berpikir, “Apakah seharusnya aku tidak menanyakan uang kembalian ini?”
Selain pendidikan pertama yang diperoleh dari keluarga, anak-anak seterusnya akan menempuh pendidikan di lembaga formal dan nonformal. Tindakan-tindakan korupsi pun sering dijumpai di sini, seperti menyontek dan terlambat. Aksi terlambat pun tidak hanya sering dilakukan oleh peserta didik, melainkan juga oleh para pendidik. Guru dan dosen yang terlambat datang ke kelas sehingga para peserta didik berkeliaran seperti ayam kehilangan induk merupakan sebuah fenomena korupsi terhadap waktu. Siapa sih yang akan rugi bila menyontek dan terlambat? Bukankah akan lebih bangga dengan nilai hasil belajar sendiri daripada hasil menyontek? Bukankah waktu itu gratis tapi sangat berharga?
Namun, ada pula program Kantin Kejujuran yang diberlakukan di beberapa sekolah di Indonesia di mana beli, bayar, dan ambil kembalian sendiri. Tujuannya adalah dalam rangka menggalakkan “Gerakan Langsung Anti-korupsi Sejak Dini” (Galaksi). Dengan menanamkan kejujuran pada anak sejak dini, maka diharapkan setelah dewasa mereka dapat menjadi orang yang jujur, apapun pekerjaan mereka nantinya (Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, 2014).
Selain itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Republik Indonesia juga bergandengan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mecanangkan Pendidikan Anti-korupsi di Perguruan Tinggi mulai tahun ajaran 2012-2013. Akan tetapi, yang paling penting bukanlah Pendidikan Anti-korupsi, melainkan Pembiasaan Anti-korupsi. Aku memang tidak menuntut ilmu di sekolah dengan Kantin Kejujuran maupun di Perguruan Tinggi dengan Pendidikan Anti-korupsi dalam kurikulum, tapi aku anak jujur yang mempraktekkan tindakan anti-korupsi dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, sangat penting untuk mengajarkan anti-korupsi sejak dini pada generasi muda. Anti-korupsi harus mulai ditanamkan sejak dini dengan bertindak jujur dan disiplin waktu. Siapapun dapat melakukan tindakan anti-korupsi kapanpun, dan di manapun dalam wujud prilaku-prilaku sederhana yang sebenarnya berdampak besar. Semakin sadarnya masyarakat akan kerugian yang ditimbulkan akibat korupsi dan pentingnya anti-korupsi, maka semakin dekat pula langkah menuju Indonesia bebas korupsi.
Tentu saja, tidak semua orang dapat berperan dalam hal menindaki kasus-kasus korupsi, tetapi semua dapat berperan dalam mencegah korupsi. Ingatlah bahwa, korupsi bernilai miliaran dan triliunan itu bermula dari korupsi recehan. Efek yang diperoleh dari korupsi bukanlah menjadi kaya, tapi menjadi tidak dipercayai orang. Mari luruskan jalan, tebang pohon korupsi di Indonesia, dan buka ladang keberhasilan bagi bangsa tercinta ini!



DAFTAR PUSTAKA

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2012. Pendidikan Anti-korupsi untuk Perguruan Tinggi. Tersedia di kpk.go.id [diakses pada tanggal 18 September 2016].
Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tersedia online di http://kbbi.web.id [diakses pada tanggal 18 September 2016].
Transparency International. 2011. Global Corruption Barometer 2010/11. Tersedia online di https://www.transparency.org/country/#IDN_PublicOpinion [diakses pada tanggal 18 September 2016].
Transparency International. 2013. Global Corruption Barometer 2013. Tersedia online di https://www.transparency.org/gcb2013/country/?country=indonesia [diakses pada tanggal 18 September 2016].
Transparency International. 2016. Corruption by County/ Territory: Indonesia. Tersedia online di https://www.transparency.org/country/#IDN_DataResearch [diakses pada tanggal 18 September 2016].
Transparency International Indonesia. 2016. Tweets by @TIIndonesia. Tersedia online di https://twitter.com/TIIndonesia/status/776287317602414593 [diakses pada tanggal 18 September 2016].
Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. 2014. Melatih Kejujuran Sejak Dini. Available online at http://www.tzuchi.or.id/inspirasi/kisah-humanis/melatih-kejujuran-sejak-dini/14 [diakses pada tanggal 18 September 2016].